Dosen di Era TikTok: Antara Personal Branding dan Etika Akademik

Fenomena dosen aktif membuat konten di media sosial, terutama TikTok, kini bukan hal asing. Banyak dosen membagikan potongan proses pembelajaran, bimbingan skripsi, bahkan sidang mahasiswa. Tujuannya beragam—mulai dari berbagi inspirasi, menunjukkan aktivitas akademik, hingga membangun citra diri profesional. Namun, di balik tren ini, muncul pertanyaan etis yang patut direnungkan: di mana batas antara personal branding dan etika akademik?


Antara Ruang Akademik dan Ruang Publik

Dalam dunia pendidikan tinggi, hubungan antara dosen dan mahasiswa bersifat profesional sekaligus personal. Bimbingan skripsi, proses evaluasi, atau sidang adalah ruang belajar yang mengandung dinamika intelektual, emosional, dan moral. Saat ruang ini direkam dan dibagikan ke media sosial tanpa pertimbangan etis, batas antara ruang akademik dan ruang publik menjadi kabur.

Mahasiswa yang sedang diuji atau dibimbing memiliki hak privasi dan martabat akademik yang harus dijaga. Mereka bukan objek tontonan, melainkan subjek pembelajaran. Ketika ekspresi gugup, kesalahan, atau kelemahannya diunggah secara publik, maka relasi edukatif bisa bergeser menjadi konsumsi digital—sering kali tanpa konteks yang adil.

Personal Branding yang Edukatif

Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa media sosial membuka peluang besar bagi dosen untuk memperluas pengaruh akademiknya. Dosen yang kreatif di TikTok dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang, membagikan wawasan ilmiah dengan cara yang sederhana dan menginspirasi. Ini bentuk *knowledge democratization*—pengetahuan yang tidak lagi terbatas di ruang kelas.

Namun, personal branding akademik yang sehat bukanlah tentang “menampilkan” mahasiswa, melainkan tentang “menginspirasi” publik. Dosen bisa tetap produktif di media sosial tanpa menabrak etika, misalnya dengan membagikan:

  • Tips menghadapi sidang skripsi tanpa menyebut nama mahasiswa,
  • Simulasi bimbingan yang diperankan ulang,
  • Refleksi pribadi tentang pengalaman mengajar atau riset,
  • Diskusi ringan tentang isu-isu akademik aktual.

Konten semacam ini tidak hanya aman secara etika, tapi juga memperkuat kredibilitas akademik dan kepercayaan publik.

Menjaga Martabat Akademik di Era Digital

Menjadi dosen di era digital berarti menapaki dua dunia sekaligus: dunia akademik yang penuh nilai moral dan dunia digital yang cepat, terbuka, dan sering kali sensasional. Tantangannya bukan sekadar teknis, tetapi filosofis—bagaimana menjaga integritas profesi di tengah dorongan untuk *viral*.

Idealnya, institusi pendidikan tinggi juga perlu memiliki *guideline* atau kebijakan etik terkait aktivitas dosen di media sosial. Panduan semacam ini dapat membantu dosen tetap kreatif tanpa kehilangan kompas moralnya. Sebab, reputasi akademik dibangun bukan oleh jumlah penonton, melainkan oleh kedalaman pesan dan ketulusan niat.

Dosen Sebagai Edukator Publik

Era TikTok menuntut dosen untuk beradaptasi, bukan untuk kehilangan jati diri. Menjadi “influencer akademik” sah-sah saja, selama tetap menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar mengajar.

Dosen sejatinya bukan sekadar pembuat konten, tetapi pembentuk kesadaran. Setiap unggahan seharusnya menjadi ruang literasi, bukan eksposisi. Karena pada akhirnya, kemuliaan profesi dosen tidak diukur dari jumlah *views*, tetapi dari seberapa dalam dampak ilmunya terhadap manusia lain.