Proses Penelitian Kualitatif (Metode Kualitatif Dalam Praktek)
Table of Contents
Metode kualitatif berkembang mengikuti suatu dalil sebagai proses yang tidak pernah berhenti (unfinished process). Ia berkembang dari proses pencarian dan penangkapan makna yang diberikan oleh suatu realitas dan fenomena sosial.4 Seorang peneliti yang berkecimpung dalam penelitian kualitatif “konvensional” sering mengalami proses sell and trade. Proses ini dapat difahami pada dua gejala. Pertama, peneliti terlibat secara interaktif dengan subjek, dan berperan dalam membentuk realitas baru. Demikian juga sebaliknya, realitas secara interaktif memperkaya pengetahuan dan makna sosial seorang peneliti. Kedua, peneliti dan “subjek” terlibat dalam proses “pertukaran” sehingga interaksi dapat berjalan.
Hal yang seringkali terjadi pada peneliti kualitatif adalah lepasnya kontrol untuk menjaga sikap dan statusnya ketika ia terjun ke lapangan. Positioning seorang peneliti kualitatif menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan data-data yang otentik. Kerap terjadi hubungan unequal antara peneliti dengan realitas yang ditelitinya. Tentu saja, hal ini dapat mengakibatkan bias dari data yang digali bahkan proses interaksi berlangsung secara tidak wajar dan memuat struktur “hiden feodalism”. Sebagai contoh, seorang peneliti yang memiliki status sosial sebagai kelas menengah atas, mengenakan pakaian yang sangat bersih dan rapi, berbicara dengan bahasa formal dan menunjukkan otoritas pengetahuan yang “berbeda” saat meneliti petani kecil di pedesaan. Ketika “uniformitas” sosial, ekonomi, dan budaya yang lekat pada si peneliti lupa untuk ditanggalkan dalam proses penelitian, maka akan terjadi hubungan timpang yang dilegalisasi oleh kultur patron-klien petani.
Terkait dengan pencarian data di lapangan, seorang peneliti kualitatif dituntut untuk secara jeli mengumpulkan data-data yang ada. Hal ini kerapkali menyulitkan karena tidak setiap permasalahan penelitian yang menarik dan signifikan, mudah dilakukan pencarian datanya. Data di lapangan dapat dipetakan ke dalam 4 ranah: front stage-disclosed (FSD), back stage-disclosed (BSD), front stage- enclosed (FSE), serta back stage-enclosed (BSE). Pada ranah data FSD, data relatif mudah didapatkan dan dikumpulkan. Dalam ranah data FSD ini, peneliti kualitatif pemula yang tidak terlalu berpengalaman dapat memperoleh informasi karena yang dibutuhkan hanya data-data yang ada di permukaan. Misalnya data- data informan yang terkait dengan usia dan pekerjaan (kecuali pekerjaan-pekerjaan tertentu yang ilegal/ melanggar norma) bisa dengan mudah didapatkan seorang peneliti kualitatif. Pada ranah data BSD, tingkat kesulitan sudah lebih tinggi. Di ranah ini, seorang peneliti kualitatif tidak saja membutuhkan keahlian (skill) dan pengalaman penelitian. Namun ia dituntut untuk menumbuhkan rasa percaya (trust) dengan subjek yang ditelitinya. Disamping itu, pada ranah data BSD seringkali peneliti perlu melakukan triangulasi untuk mendapatkan data yang akurat dan otentik.
Pada ranah data FSE, seorang peneliti kualitatif seringkali dihadapkan pada permasalahan etika dan hubungannya dengan informan. Dalam konteks ini, seringkali muncul data yang berpengaruh pada penelitian namun bersifat tertutup. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti kualitatif mengkaji masalah pengambilan putusan di dalam keluarga, ia dihadapkan pada fakta bahwa seorang anak si informan hamil di luar nikah. Tentu saja, hal ini bisa ditanyakan pada si informan karena secara “objektif” fakta ini dapat dianggap memiliki hubungan dengan bagaimana si informan mengambil keputusan di dalam keluarganya.
Masalah muncul ketika si peneliti mencoba melihat dimensi etis dalam pertanyaannya serta implikasinya terhadap “kedekatan” hubungannya dengan informan. Jalan tengah yang dapat dilakukan adalah dengan merahasiakan identitas informan melalui pseudonim, walaupun langkah ini belum tentu akan menghilangkan gangguan hubungan selanjutnya antara si peneliti dengan informan. Ranah data terakhir adalah BSE yang merupakan ranah data yang paling sulit untuk didapatkan. Pada ranah data ini, seorang peneliti kualitatif membutuhkan waktu, keahlian, pengalaman, kesabaran, ketekunan yang ekstra untuk dapat mengungkapkan realitas yang ditelitinya. Skandal hubungan politik, kolusi, korupsi, “tabu”, adalah contoh-contoh realitas sosial pada ranah data ini.
Metode kualitatif sebagaimana metode-metode penelitian lainnya, dipagari dengan etika penelitian. Perlu disampaikan bahwa dalam setiap penelitian, baik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif seorang peneliti dihadapkan pada dua sikap profesional yang harus melekat. Sikap pertama adalah pengetahuan yang mencukupi untuk memahami teknik-teknik penelitian. Sikap kedua adalah sensitivitas pada aspek etika dalam melakukan penelitian (Neuman, 1997: 443-444). Etika penelitian memiliki akar tradisi yang kuat dalam ilmu sosial sebagaimana terungkap dalam sifat bebas nilai dari eksperimetalisme, netralitas dari tradisi Weberian hingga etika utilitarian (Christians, “Ethics and Politics in Qualitative Research”, dalam Denzin et.al.,(eds), 2000: 133-152).
Dalam menjaga sikap kedua ini, seorang peneliti kualitatif sering dihadapkan pada serangkaian dilema. Dilema-dilema tersebut antara lain penyamaran identitas informan, kerahasiaan, keterlibatan dengan para deviant, hubungan dengan kekuasaan, serta dalam proses diseminasi hasil penelitiannya. Identitas dan kerahasiaan informan dapat dilakukan dengan menggunakan anonim atau pseudonim. Dalam konteks hubungan kekuasaan, seorang peneliti harus berani menembus elit kekuasaan yang berpotensi melakukan blokade atas penelitian terutama yang terkait dengan kelompok-kelompok yang nir kekuasaan. Masalah yang cukup pelik adalah ketika seorang peneliti dihadapkan pada dilema tanggung jawab menjaga privasi informan dengan tanggung jawab bahwa pengetahuan akan sebuah fakta sosial harus diketahui. Posisi kompromis yang dapat dilakukan adalah melakukan publikasi atas material yang tak mengenakkan tersebut hanya jika dibutuhkan ketika seorang peneliti hendak membangun argumen yang kuat dan luas. Perhatian pada masalah etika bergerak ke persoalan penyimpangan yang bisa terjadi dalam penelitian kualitatif, mulai dari penyimpangan ilmiah dalam hal pengumpulan data, metode atau plagiarisme (Neuman, 1997: 443-473)
Dalam hubungan dengan informan atau realitas yang ditelitinya, seorang peneliti kualitatif dituntut untuk mengedepankan prinsip kesukarelaan informan untuk memberikan data yang dibutuhkan. Kesukarelaan ini harus dibarengi dengan keharusan peneliti menjaga privasi, identitas serta kerahasiaan informan. Demikian juga halnya dalam hubungan peneliti dengan pemerintah dan funding yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk membatasi proses penelitian. Pegangan peneliti kualitatif pada aspek-aspek etika merupakan hal yang sangat fundamental. Prinsip kesukarelaan juga berarti seorang peneliti kualitatif dituntut untuk tidak merugikan subjek penelitian, menjaga privasinya, serta menghindarkan konflik kepentingan (conflict of interest). Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan prinsip persetujuan memberi informasi (informed consent) dari subjek penelitian. Dalam prinsip ini, partisipan penelitian diberikan informasi yang utuh mengenai berbagai aspek penelitian yang dapat mempengaruhi terlibat tidaknya subjek tersebut berpartisipasi dalam penelitian tersebut (Ruane, 2005: 16-29).
Hal yang seringkali terjadi pada peneliti kualitatif adalah lepasnya kontrol untuk menjaga sikap dan statusnya ketika ia terjun ke lapangan. Positioning seorang peneliti kualitatif menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan data-data yang otentik. Kerap terjadi hubungan unequal antara peneliti dengan realitas yang ditelitinya. Tentu saja, hal ini dapat mengakibatkan bias dari data yang digali bahkan proses interaksi berlangsung secara tidak wajar dan memuat struktur “hiden feodalism”. Sebagai contoh, seorang peneliti yang memiliki status sosial sebagai kelas menengah atas, mengenakan pakaian yang sangat bersih dan rapi, berbicara dengan bahasa formal dan menunjukkan otoritas pengetahuan yang “berbeda” saat meneliti petani kecil di pedesaan. Ketika “uniformitas” sosial, ekonomi, dan budaya yang lekat pada si peneliti lupa untuk ditanggalkan dalam proses penelitian, maka akan terjadi hubungan timpang yang dilegalisasi oleh kultur patron-klien petani.
Terkait dengan pencarian data di lapangan, seorang peneliti kualitatif dituntut untuk secara jeli mengumpulkan data-data yang ada. Hal ini kerapkali menyulitkan karena tidak setiap permasalahan penelitian yang menarik dan signifikan, mudah dilakukan pencarian datanya. Data di lapangan dapat dipetakan ke dalam 4 ranah: front stage-disclosed (FSD), back stage-disclosed (BSD), front stage- enclosed (FSE), serta back stage-enclosed (BSE). Pada ranah data FSD, data relatif mudah didapatkan dan dikumpulkan. Dalam ranah data FSD ini, peneliti kualitatif pemula yang tidak terlalu berpengalaman dapat memperoleh informasi karena yang dibutuhkan hanya data-data yang ada di permukaan. Misalnya data- data informan yang terkait dengan usia dan pekerjaan (kecuali pekerjaan-pekerjaan tertentu yang ilegal/ melanggar norma) bisa dengan mudah didapatkan seorang peneliti kualitatif. Pada ranah data BSD, tingkat kesulitan sudah lebih tinggi. Di ranah ini, seorang peneliti kualitatif tidak saja membutuhkan keahlian (skill) dan pengalaman penelitian. Namun ia dituntut untuk menumbuhkan rasa percaya (trust) dengan subjek yang ditelitinya. Disamping itu, pada ranah data BSD seringkali peneliti perlu melakukan triangulasi untuk mendapatkan data yang akurat dan otentik.
Pada ranah data FSE, seorang peneliti kualitatif seringkali dihadapkan pada permasalahan etika dan hubungannya dengan informan. Dalam konteks ini, seringkali muncul data yang berpengaruh pada penelitian namun bersifat tertutup. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti kualitatif mengkaji masalah pengambilan putusan di dalam keluarga, ia dihadapkan pada fakta bahwa seorang anak si informan hamil di luar nikah. Tentu saja, hal ini bisa ditanyakan pada si informan karena secara “objektif” fakta ini dapat dianggap memiliki hubungan dengan bagaimana si informan mengambil keputusan di dalam keluarganya.
Masalah muncul ketika si peneliti mencoba melihat dimensi etis dalam pertanyaannya serta implikasinya terhadap “kedekatan” hubungannya dengan informan. Jalan tengah yang dapat dilakukan adalah dengan merahasiakan identitas informan melalui pseudonim, walaupun langkah ini belum tentu akan menghilangkan gangguan hubungan selanjutnya antara si peneliti dengan informan. Ranah data terakhir adalah BSE yang merupakan ranah data yang paling sulit untuk didapatkan. Pada ranah data ini, seorang peneliti kualitatif membutuhkan waktu, keahlian, pengalaman, kesabaran, ketekunan yang ekstra untuk dapat mengungkapkan realitas yang ditelitinya. Skandal hubungan politik, kolusi, korupsi, “tabu”, adalah contoh-contoh realitas sosial pada ranah data ini.
Metode kualitatif sebagaimana metode-metode penelitian lainnya, dipagari dengan etika penelitian. Perlu disampaikan bahwa dalam setiap penelitian, baik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif seorang peneliti dihadapkan pada dua sikap profesional yang harus melekat. Sikap pertama adalah pengetahuan yang mencukupi untuk memahami teknik-teknik penelitian. Sikap kedua adalah sensitivitas pada aspek etika dalam melakukan penelitian (Neuman, 1997: 443-444). Etika penelitian memiliki akar tradisi yang kuat dalam ilmu sosial sebagaimana terungkap dalam sifat bebas nilai dari eksperimetalisme, netralitas dari tradisi Weberian hingga etika utilitarian (Christians, “Ethics and Politics in Qualitative Research”, dalam Denzin et.al.,(eds), 2000: 133-152).
Dalam menjaga sikap kedua ini, seorang peneliti kualitatif sering dihadapkan pada serangkaian dilema. Dilema-dilema tersebut antara lain penyamaran identitas informan, kerahasiaan, keterlibatan dengan para deviant, hubungan dengan kekuasaan, serta dalam proses diseminasi hasil penelitiannya. Identitas dan kerahasiaan informan dapat dilakukan dengan menggunakan anonim atau pseudonim. Dalam konteks hubungan kekuasaan, seorang peneliti harus berani menembus elit kekuasaan yang berpotensi melakukan blokade atas penelitian terutama yang terkait dengan kelompok-kelompok yang nir kekuasaan. Masalah yang cukup pelik adalah ketika seorang peneliti dihadapkan pada dilema tanggung jawab menjaga privasi informan dengan tanggung jawab bahwa pengetahuan akan sebuah fakta sosial harus diketahui. Posisi kompromis yang dapat dilakukan adalah melakukan publikasi atas material yang tak mengenakkan tersebut hanya jika dibutuhkan ketika seorang peneliti hendak membangun argumen yang kuat dan luas. Perhatian pada masalah etika bergerak ke persoalan penyimpangan yang bisa terjadi dalam penelitian kualitatif, mulai dari penyimpangan ilmiah dalam hal pengumpulan data, metode atau plagiarisme (Neuman, 1997: 443-473)
Dalam hubungan dengan informan atau realitas yang ditelitinya, seorang peneliti kualitatif dituntut untuk mengedepankan prinsip kesukarelaan informan untuk memberikan data yang dibutuhkan. Kesukarelaan ini harus dibarengi dengan keharusan peneliti menjaga privasi, identitas serta kerahasiaan informan. Demikian juga halnya dalam hubungan peneliti dengan pemerintah dan funding yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk membatasi proses penelitian. Pegangan peneliti kualitatif pada aspek-aspek etika merupakan hal yang sangat fundamental. Prinsip kesukarelaan juga berarti seorang peneliti kualitatif dituntut untuk tidak merugikan subjek penelitian, menjaga privasinya, serta menghindarkan konflik kepentingan (conflict of interest). Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan prinsip persetujuan memberi informasi (informed consent) dari subjek penelitian. Dalam prinsip ini, partisipan penelitian diberikan informasi yang utuh mengenai berbagai aspek penelitian yang dapat mempengaruhi terlibat tidaknya subjek tersebut berpartisipasi dalam penelitian tersebut (Ruane, 2005: 16-29).
4 Metode kualitatif merupakan bagian dari proses pengetahuan yang dapat
dianggap sebagai produk sosial dan juga proses sosial. Pengetahuan
sebagai sebuah proses setidaknya memiliki tiga prinsip dasar yakni
empirisisme yang berpangku pada fakta dan data, objektivitas dan
kontrol. Lihat Royce Singleton, Jr, Bruce C. Straits, Margaret M.
Straits and Ronald
J. McAllister, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 28-37
J. McAllister, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 28-37