Menakar Rasionalitas dalam Kasus Ijazah Jokowi "Antara Kritik Sehat dan Nyinyir"
Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan menyedot perhatian publik. Padahal, aparat penegak hukum, termasuk Bareskrim Polri, telah menyatakan bahwa dokumen akademik milik Presiden Jokowi adalah sah dan identik dengan arsip resmi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, sebagian kelompok masih terus bersuara, menggulirkan kecurigaan dan menyematkan label “palsu” pada hal yang faktanya telah diuji secara forensik.
Sebagai warga negara yang mengikuti isu ini dengan kepala dingin, saya berpihak pada Presiden Jokowi. Bukan karena fanatisme politik, tetapi karena saya lebih percaya pada rekam jejak dan bukti nyata dibandingkan pada teori yang hanya lahir dari prasangka.
Presiden Jokowi adalah figur publik yang jejak akademik, karier birokrasi, dan pencapaannya selama memimpin begitu terbuka. Mulai dari wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode menjadi Presiden Republik Indonesia, semua langkahnya terang benderang dan bisa diverifikasi. Tak masuk akal jika seorang tokoh dengan rekam jejak seterbuka itu bisa “menyembunyikan” kebohongan administratif selama puluhan tahun, di tengah sistem demokrasi dan pengawasan media yang begitu ketat.
Kita tidak sedang bicara tentang satu klaim kosong yang bisa dibantah dengan satu opini lain. Kita bicara soal bukti. Dalam dunia yang rasional, kebenaran seharusnya bertumpu pada data, bukan pada kecurigaan tanpa dasar. Ketika penyidik telah turun ke lapangan, membandingkan dokumen, memeriksa saksi, dan hasilnya menyatakan ijazah itu asli, maka seharusnya ruang untuk terus mencurigai dengan narasi liar menjadi tertutup.
Namun, di era informasi yang serba cepat ini, sering kali kita terjebak dalam bias konfirmasi. Mereka yang sudah punya asumsi negatif sejak awal akan selalu mencari celah untuk menjustifikasi kecurigaan mereka, meskipun fakta telah berbicara sebaliknya. Di titik inilah penting untuk membedakan antara kritik sehat dan nyinyir yang dibungkus konspirasi.
Kritik sehat lahir dari semangat memperbaiki, disertai data, disampaikan dengan cara yang konstruktif. Sementara nyinyiran berbasis teori konspirasi hanya akan menciptakan kebisingan, mengaburkan kebenaran, dan memperkeruh ruang publik. Ironisnya, banyak dari mereka yang terus menggulirkan isu ini bukan demi mencari kebenaran, tetapi demi menggiring opini publik ke arah ketidakpercayaan.
Kita boleh dan harus kritis terhadap pemimpin. Tapi kritik harus dilandasi oleh integritas intelektual, bukan prasangka yang dibungkus narasi palsu. Kita harus dewasa dalam menyikapi perbedaan, dan jernih dalam menilai suatu kasus. Jangan sampai karena terlalu larut dalam ketidakpercayaan, kita menjadi bangsa yang anti-bukti dan terlalu mudah termakan teori tanpa dasar.
Mari jaga ruang publik kita agar tetap rasional, sehat, dan tidak terperosok dalam debat yang membuang energi. Kritiklah dengan dasar, dukunglah dengan akal sehat.