Jenis Penelitian Fenomenologi Pada Penelitian Kualitatif

Secara harfiah, fenomenologi berasal dari kata pahainomenon dari bahasa Yunani yang berarti gejala atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Istilah fenomena dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu fenomena itu selalu menunjuk keluar dan fenomena dari sudut pandang kesadaran kita. Oleh karena itu, dalam memandang suatu fenomena kita harus terlebih dulu melihat penyaringan atau ratio, sehingga menemukan kesadaran yang sejati.

Sejarah awal mula munculnya filsafat fenomenologi berkembang pada abad ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam diri manusia tentang perspektif dirinya di dunia ini. Pada abad sebelumnya, manusia selalu memandang segala hal dari sudut pandang Ketuhanan. Selanjutnya, terjadilah gelombang besar modernitas pada kala itu yang mengubah sudut pandang pemikiran tersebut. Para filsuf banyak yang menolak doktrin-doktrin Gereja dan melakukan gerakan reformasi yang disebut sebagai masa pencerahan.


Paradigma ini muncul karena timbulnya pemikiran manusia terhadap subjektivitas. Yang dimaksud dengan subjektivitas di sini bukanlah antonim dari kata objektivitas. Subjek yang dimaksud merupakan makna “aku” yang ada dalam diri manusia yang menghendaki, bertindak, dan mengerti. Menurut Suseno dikutib Mujib (2015) manusia hadir ke dunia sebagai subjek yang memiliki kesadaran diri, tak hanya hadir sebagai benda di dunia ini, melainkan sebagai subjek yang berpikir, berefleksi, dan bertindak secara kritis dan bebas.

Fenomenologi ini berasal dari filsafat yang mengelilingi kesadaran manusia yang dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859—1938) seorang filsuf Jerman. Pada awalnya teori ini digunakan pada ilmu-ilmu sosial. Menurut Husserl ada beberapa definisi fenomenologi, yaitu: (1) pengalaman subjektif atau fenomenologikal, dan (2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Teori ini merupakan hasil dari perlawanan teori sebelumnya yang memandang sesuatu dari paradigma ketuhanan. Jadi secara sederhana, fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi yang berupaya untuk menganalisis secara deskriptif dan introspektif tentang segala kesadaran bentuk manusia dan pengalamannya baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estetis, dan religius. Lebih lanjut, Martin Heidegger berpendapat tentang fenomenologi Husserl (dalam Mujib: 2015) bahwa manusia tidak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, yaitu suatu tempat, panorama atau dunia agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya yang berujung pada eksistensi yang bersifat duniawi.

Fenomenologi adalah pendekatan yang dimulai oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk memahami atau mempelajari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini berevolusi sebuah metode penelitian kualitatif yang matang dan dewasa selama beberapa dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum penelitian ini untuk memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke dalam kesadaran manusia (Tuffour: 2017). 

Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan peneliti dalam studinya. Menurut Alase (2017) fenomenologi adalah sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam proses penelitian eksploratori. Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Creswell dikutip Eddles-Hirsch (2015) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang tertarik untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman sebuah fenomena individu dalam dunia sehari-hari. Sebagai contoh, studi fenomenologi tentang anorexia bagi beberapa orang yang terjadi dewasa ini. Anorexia merupakan gangguan (kalau dapat dikatakan demikian) makan yang dialami seseorang karena takut terhadap kenaikan berat badan yang disebabkan gaya hidup dan tuntutan budaya populer. Studi ini dapat ditekankan pada kondisi mengapa seseorang ingin seperti ini dan menginterpretasikan hidup mereka berdasarkan sudut padang yang mereka pahami. Studi ini bertujuan untuk memahami dan menggambarkan sebuah fenomena spesifik yang mendalam dan diperolehnya esensi dari pengalaman hidup partisipan pada suatu fenomena (Yuksel dan Yidirim: 2015).

Ada hal yang harus diperhatikan dalam penelitian kualitatif, khususnya yang menggunakan pendekatan fenomenologi. Banyak peneliti kontemporer yang mengklaim menggunakan pendekatan fenomenologi tetapi mereka jarang menghubungkan metode tersebut dengan prinsip dari filosofi fenomenologi (Sohn dkk: 2017). Hal ini perlu digarisbawahi agar kualitas penelitian fenomenologi yang dihasilkan memiliki nilai dan hasil standar yang tinggi. Untuk menuju ke hasil tersebut, penelitian fenomenologi harus memperhatikan ciri-ciri yang melingkupinya, yaitu: (1) mengacu pada kenyataan, (2) memahami arti peristiwa dan keterkaitannya dengan orang-orang yang berada dalam situasi tertentu, dan (3) memulai dengan diam.

Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi juga memiliki karakteristik yang melekat di dalamnya. Menurut Mujib (2015) ada dua karakteristik dalam pendekatan fenomenologi dalam bidang agama. Pertama, pendekatan ini merupakan metode dalam memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas. Dalam situasi ini, peneliti menggunakan preferensi orang bersangkutan untuk merekonstruksi dalam dan berdasarkan pengalaman orang tersebut. Artinya, dalam kondisi ini peneliti menanggalkan dirinya sendiri (epoche) dan berupaya membangun dari pengalaman orang lain. Kedua, dalam menggali data pada pendekatan ini dibantu denga disiplin ilmu yang lain, seperti sejarah, arkeologi, filologi, psikologi, sosiologi, studi sastra, bahasa, dan lain-lain. 

Di samping beberapa poin pemaparan di atas, fenomenologi sebagai metode penelitian juga memiliki beberapa keuntungan atau kelebihan. Pertama, sebagai metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan dan menggambarkan suatu fenomena secara apa adanya tanpa memanipulasi data di dalamnya. Dalam kondisi ini, kita sebagai peneliti harus mengesampingkan terlebih dahulu pemahaman kita tentang agama, adat, dan ilmu pengetahuan agar pengetahuan dan kebenaran yang ditemukan benar-benar objektif. Kedua, metode ini memandang objek kajiannya sebagai sesuatu yang utuh dan tidak terpisah dengan objek lain. Artinya, pendekatan ini menekankan pada pendekatan yang holistik dan tidak parsial sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang suatu objek. Dari beberapa kelebihan tersebut, studi fenomenologi juga memiliki masalah. Masalah tersebut diungkapkan oleh Sohn dkk (2017) yang menyatakan bahwa banyak peneliti kontemporer yang mengklaim menggunakan pendekatan fenomenologi tetapi pada kenyataanya mereka jarang menghubungkan metode tersebut dengan prinsip dari filosofi fenomenologi. Hal itulah yang seharusnya diperbaiki oleh para peneliti fenomenologi dewasa ini.