Populasi dan Sampel dalam penelitian
Table of Contents
Berbicara menganai penelitian kita tidak akan terlepas dari populasi dan sampel.
Sampel merupakan sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel
jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur
yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen
dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa
dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu
hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang
bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau
unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus
antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam
prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu
penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus
telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan
kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel
daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian
banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para
pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d)
demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh
elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti
kualitas jeruk dari satu pohon jeruk.
Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa
dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka
cara penarikan sampel nya harus dilakukan secara seksama. Cara
pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik
pengambilan sampel.
Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda,
yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap
konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh
konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan
perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan
perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di
departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen
“A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM)
organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”
Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat
30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur
atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30
elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah
pabrik sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen
penelitian.
Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak
mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel
harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau
yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan
sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid,
karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda).
Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias”
(kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat
kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok
ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic
variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang
disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang
menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai
contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu
yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan,
maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini
bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode
penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary
Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun
1936. (Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924,
1928, dan tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan
jadi presiden dari calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil
berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari daftar pemilik mobil.
Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di
antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt),
yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt
yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat
kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel
yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya
pemilih yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas
rendah) tidak terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh
masyarakat kelas rendah tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua
pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu
sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2)
agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus
mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat
presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi
kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi,
diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari,
setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan
laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya
rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung
berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari
sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di
antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi
tingkat presisi sampel tersebut.
Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi
sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa
melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error”
Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil
perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan
simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi pula tingkat presisinya.
Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan
cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang
kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di
atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan
sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah.
Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Teknik-teknik Pengambilan Sampel
Secara umum, ada
dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling /
probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom
samping/nonprobability sampling.Yang dimaksud dengan random samplingadalah cara
pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada
setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan
dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan
25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan
nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak
mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi
dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan
yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik
pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin
hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau
istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif
dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan
generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak.
Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data
pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen
populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol,
kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah
konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui
ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai
sampel dikatakan “representatif”?
Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada
informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang
demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak
ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau
nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut
tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi
merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar
konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol. Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut,
terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random
sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random
sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada
nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience
sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling
Probability/Random Sampling.
Syarat
pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama
“sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar
yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel.
Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang
kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi
penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus
bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi
“A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia,
dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini,
peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika
populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus
mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya
adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa
Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap
tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama
lainnya.
Di
samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa
dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja
yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah
Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara
acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak
begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu
konsep “acak” atau “random” itu sendiri.
Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya
cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin
ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang
penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita
dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan
manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender,
status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta
perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang
penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil
penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana.
Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama
untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
Susun “sampling frame”
Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
Tentukan alat pemilihan sampel
Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena
unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut
mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka
peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang
peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan
perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif
sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji
dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para
manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan
sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer
di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer
menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel
secara acak. Prosedurnya :
Siapkan “sampling frame”
Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat
menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan
secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan
proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan
jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum
manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45
manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya
jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil
seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9
manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam
setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau
elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya
saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer,
maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan
untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat
bawah (III), tetap 63 orang.
Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini
biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan
gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang
distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki
karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B :
perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung
unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya,
dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen
terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis
kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda
tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti
bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu
strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat
menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya
dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
- Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
- Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
- Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
- Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti
dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat
pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat
digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur
populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan
sampel adalah yang “keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang
keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur
populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan
ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel
yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara
sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
- Susun sampling frame
- Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
- Tentukan K (kelas interval)
- Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
- Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih
- Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini
dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi
penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing
manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat
Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan
area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
- Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
- Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
- Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
- Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
- Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti telah
diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak
semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa
dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa
disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya
sudah direncanakan oleh peneliti.
Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam
memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali
berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena
kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang
tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah
accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample
(man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk
penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan
yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian
yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.
Purposive Sampling
Sesuai
dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu.
Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap
bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang
diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama
judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih
berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik
untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data
tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu
perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk
bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih
sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai
“information rich”.
Dalam program
pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan
sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau
karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan,
maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik.
(Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel
ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional,
namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di
sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika
seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis
kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak
18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik
pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak,
melainkan secara kebetulan saja.
Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini
banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan
penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih
banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang
lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti
ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan.
Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan
wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian
tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah
wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa
mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga
dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok
sosial lain yang eksklusif (tertutup